Last modified: 2022-02-14
Abstract
Pada negara yang multikultural seperti negara Indonesia sering ditemukan kondisi dimana adanya keterbatasan dari resistensi terhadap hukum resmi, sementara hukum resmi terkadang sudah tidak dapat memberikan rasa keadilan kepada individu dan masyarakat. Diantaranya rasa ketidakadilan bagi individu dan masyarakat atas dasar jenis kelamin ataupun gender. Walaupun sudah terbentuk hukum yang bernafaskan semangat feminis. Akan tetapi tetap menimbulkan pertanyaan apakah pandangan feminisme dapat diterima dalam Hukum Perencanaan dan Otonomi Daerah bila dihubungan dengan kearifan lokal yang tumbuh berkembang di masyarakat Indonesia yang bersifat pluralis hukum. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan pendekatan konsep ditemukan jawaban dalam melakukan dekonstruksi Hukum Perencanaan sangat berperan dengan tetap harus memperhatikan pola interprestasi perilaku hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya di antaranya agama dan sosial budaya.